Mati Bercanda ala Indonesia

Apa sih yang tidak dijadikan guyonan di Indonesia ini? Malaikat maut pun mungkin merasa minder, sebab sebagian besar warga republik ini santai-santai saja menghadapi resiko kematian. Rasanya, tidak ada bangsa lain yang punya nyali segede orang Indonesia untuk bermain-main dan bahkan bercanda dengan maut.

Hampir setiap hari kita menyaksikan ratusan peristiwa kematian yang konyol di seantero negeri ini. Anak-anak sekolah jatuh dari atap KRL, mati secara mengenaskan, lalu kita merasa prihatin sejenak, kemudian lupa. Esoknya tragedi yang sama terjadi lagi, entah jatuh dari KRL atau tenggelam karena kapal kelebihan muatan, mati dalam kecelakaan lalu lintas lantaran pengemudi ugalan-ugalan, anak-anak mati di bekas galian yang dibiarkan terbuka, anak SD bunuh diri gara-gara belum bayar SPP, dst, dst.

Pokoknya, hampir setiap hari hati kita dibuat miris dan jantung gonjang-gonjing lantaran cemas sendiri, melihat kelakuan orang lain yang ugal-ugalan, meremehkan resiko dan melecehkan nyawanya sendiri. Yang paling terasa pilu, sementara kita dicekam teror, membayangkan kemungkinan fatal yang bisa terjadi dan memang sering kejadian, ehh orang yang kita cemaskan malah balik menertawakan kita.

Apakah kita masih layak menyebut diri sendiri dan gabungan kita semua sebagai individu, keluarga, masyarakat dan bangsa yang normal? Bukankah kematian-kematian konyol itu, tragedi yang sia-sia dan berulang-ulang itu, seharusnya lebih dari cukup untuk menjadi peringatan dan pelajaran buat kita semua untuk belajar menghargai kehidupan?

Tolong bersabar sebentar. Izinkan aku menunjukkan dulu fakta-fakta sejarah, tentang betapa sikap orang Indonesia yang demikian fatalis telah menyebabkan sejumlah tragedi kemanusiaan yang sungguh memilukan dan mengguncangkan, tapi ternyata bisa dengan cepat kita lupakan. Seakan-akan tidak pernah terjadi.

Terlepas dari persoalan ideologi dan perebutan kekuasaan di kalangan elit politik, rentetan pembersihan dan pembantaian kejam yang terjadi di pulau Jawa dan Sumatera sepanjang tahun 1965 dan 1966, sejatinya adalah tragedi kemanusiaan yang maha mengerikan. Entah mana yang benar : 1.000.000 atau 1.500.000 orang yang diburu dan kemudian dibunuh dengan cara yang lebih menghina daripada menyembelih hewan; bahkan seandainya pun yang binasa dalam kurun waktu kurang dari setahun itu “hanya” 500.000 orang, apakah itu bukan tragedi kemanusiaan yang luar biasa?

Apakah kita satu per satu, bisa membenarkan diri untuk mengamini pembantaian dalam skala yang demikian besar, sebagai hal yang wajar dan bisa dibenarkan, atas nama misi suci demi menyelamatkan bangsa dan negara Indonesia? Kalau aku, tak perduli apa pun ideologi orang-orang yang malang itu, yang nota bene kebanyakan wong cilik, petani dan nelayan; batinku tak pernah berhenti menangis, menyesalkan, menyayangkan dan meratapi kematian mereka yang sia-sia dan dengan cara menyakitkan serta dihinakan.

Sungguh, aku tak pernah bisa menghibur diriku, biarpun sebenarnya tidak ada kaitan langsung dengan holocaust atau massacre itu–karena saat itu aku masih bayi; bahwa pelaku pembantaian yang luar biasa sadis itu adalah saudara-saudaraku sesama warga negara Indonesia. Bangsaku inilah, yang tak pernah kapok mencitrakan diri sebagai bangsa yang taat beragama, ramah, lemah lembut dan berperikemanusiaan tinggi; yang selalu membanggakan ideologi Pancasila; itulah kita, ya kitalah pelaku pembantaian nomor dua terbesar di dunia itu.

Tapi apakah yang kita lakukan untuk menyembuhkan “luka” yang terus menganga itu ? Bangsa ini ternyata bisa dengan gampang melupakan semua itu; seakan-akan tidak pernah terjadi. Kita melupakannya begitu saja, tanpa penyesalan sedikit pun, tanpa rasa bersalah secara kolektif sebagai suatu bangsa; serta tanpa mengambil hikmah dan memetik pelajaran dari peristiwa paling berdarah dalam sejarah Indonesia itu.

Mungkin karena itulah tragedi demi tragedi, pembantaian demi pembantaian begitu sering terjadi di negeri ini, tanpa menimbulkan guncangan batin secara bersama-sama sebagai bangsa; dan lagi-lagi seperti pada tahu 1965 dan 1966 kita bisa dengan mudah melupakan para korban, termasuk tokoh pejuang HAM Munir, termasuk korban yang terkubur lumpur panas Sidoarjo, termasuk korban tewas dalam terjangan banjir sepanjang aliran Bengawan Solo dari Solo sampai Lamongan baru-baru ini, serta termasuk orang-orang yang mati konyol hari ini, esok dan kelak.

Kita melupakannya dengan cepat, lalu menghibur diri dan bercanda, supaya hidup lebih hidup! Canda peringkat teratas saat ini adalah seputar status mantan presiden Soeharto, baik secara hukum, moral dan norma sosial kita. Diambangkan dan dijadikan komoditas politik paling panas!

Mudah-mudahan ada kawan-kawan blogger yang bisa menjelaskan mengapa bangsa kita separah ini. Yang bisa kujelaskan disini hanyalah, kalau terhadap kematian saja kita bisa bermain-main dan bercanda, apa masih perlu heran kalau aku katakan bahwa blogsphere Indonesia sebagian besar hanya berisi hahahihi, wakaka, pertamax dan bentuk-bentuk keisengan lainnya. Sebaliknya, mudah-mudahan sudah dapat dimengerti mengapa aku begitu “ngotot” mendorong tumbuhnya sikap SERIUS di dunia blog kita.

Inilah jawabanku untuk mulut, sawali tuhusetya, bedh, daustralala dan segenap blogger Indonesia yang mungkin peduli atau antipati terhadap sikapku atau apa yang kutampilkan dalam blog ini; yang barangkali dianggap terlalu lugas, keras dan frontal. Aku merasa perlu menjelaskan ini, karena meskipun keras kepala dan sedikit “besar kepala”, aku sebenarnya sangat mengharapkan untuk menjalin komunikasi dan membentuk “komunitas” yang akrab dan santun di dunia maya ini.

Jadi aku bukannya under estimate terhadap dunia blog Indonesia, seperti kritik mulut terhadapku. Tapi justru, dengan sepenuhnya merasa merdeka untuk mengutarakan penilaianku, aku akan selalu katakan berulang-ulang sebelum keadaannya berubah, bahwa saat ini hampir 95 % ruang publik di blogsphere Indonesia–yang dikelola oleh entah berapa puluh ribu blogger yang independen, masih didominasi oleh hal-hal yang bersifat iseng dan remeh-temeh.

Aku bukannya anti terhadap pemanfaatan blog untuk hal-hal yang personal atau just for fun. Namun sambil mengucapkan terima kasih khususnya kepada mulut, boleh dong aku mengutarakan harapan agar pernik-pernik bersifat personal dan just for fun itu dikerjakan lebih serius; sebagaimana bisa kita lihat pada blog yang dimiliki para blogger di negara maju.

Sampai disini, kalau ternyata kita tetap tidak sepakat, marilah kita sepakat untuk tidak sepakat. Dan kalau masih ada yang merasa kesal padaku, bersyukurlah, karena itu akan menghasilkan energi lebih besar untuk mendorongmu lebih maju.

Salam Merdeka!

Tag: , , , , , , ,

20 Tanggapan to “Mati Bercanda ala Indonesia”

  1. sitijenang Says:

    oke aja, bung. bius-membius memang sedang trend. masalahnya membalikkan kesadaran memang tidak semudah membalik tangan. katanya, hanya bisa dido’akan, itu pun dengan asumsi ada sekelompok orang yang punya kepedulian. mungkinkah komunitas blogger bisa menjadi jalan? mudah-mudahan… Merdeka juga! 8)

  2. Ram-Ram Muhammad Says:

    Semuanya akan berjalan dan berubah seiring waktu ya Bang…. Mungkin akan seperti teori evolusinya Darwin. Akan terjadi perubahan-perubahan sesuai dengan trend dan perkembangan alam pemikiran serta sikap. Tapi sekali lagi semuanya membutuhkan waktu, seperti kata Kyai Jenang di atas, kesadaran memang tidak semudah membalikkan telapak tangan.

    Salam merdeka!

  3. Robert Manurung Says:

    @ Mas sitijenang

    Aku kurang paham yang Mas maksud dengan bius-membius yang sedang trend. Tapi soal pengaruh-mempengaruhi, menurutku, adalah hal yang baik dan perlu. Aku juga banyak menyerap gagasan-gagasan yang bersifat memperkuat, mengembangkan atau bahkan merombak paradigma berpikirku tentang sesuatu hal.

    Dari komen Mas aku menangkap umpan balik, bahwa rupanya apa yang kutulis di blog ini menimbulkan kesan mendesak atau terasa “maksa” buat pembaca. Apakah itu masalah ? Sebenarnya gampang saja kan : pengunjung yang merasa tidak menemukan apa yang ingin dia lihat atau baca di blog ini; atau sebaliknya dia menemukan disini apa yang dia tidak ingin lihat dan baca, ya cabut aja.

    Yes, aku sependapat dengan Mas Jenang dan terima kasih sudah mengingatkanku, bahwa “membalikkan kesadaran memang tidak semudah membalik tangan”. Betul itu. Semua perubahan perlu proses dan waktu.

    Merdeka

  4. Robert Manurung Says:

    @ Ram-Ram Muhammad

    Entah sudah berapa ribu tahun perjalanan evolusi suku-suku di Nusantara, hasilnya apa ? Fatalisme, fatalisme dan fatalisme.

    Untunglah Bung Karno berani bermimpi untuk memerdekakan suku-suku yang terserak di kepulauan terbesar di dunia ini, sehingga kita memiliki sebuah negara yang merdeka dan berdaulat, serta sebuah rumah bangsa untuk kita berkembang dengan corak dan kepribadian masing-masing.

    Terima kasih Bang Ram-Ram Muhammd, aku paham pesan yang Abang sampaikan. Hanya saja aku selalu meyakini : apakah pilihannya cepat atau lambat, kita tidak akan bergerak kalau belum melakukan langkah pertama.

    Merdeka.

  5. kucingkeren Says:

    Aduh, bukannya saya benci dengan yang serius-serius. Tapi hidup ini sudah serius, kalau tulisan di blog juga HARUS serius ya boleh-boleh saja sih, tapi apa gak ‘garing’ hidup kita ini? Tulisan yang tak serius gak mencerminkan bahwa penulisnya gak serius menghadapi kehidupan. Malah saya sering baca dari ‘ketidakseriusan’ itu ada sesuatu yang serius lho maknanya. Yahh.. setiap orang kan pasti tak sama dalam mencermati atau menanggapi sesuatu. Besides, siapa tahu saja, blognya hanya sekedar koma atau tempat mengambil napas agar hidupnya lebih lancar. Halah..kok jadi serius banget ya saya nulis commentnya… Peace ah..

  6. daeng limpo Says:

    semakin beraneka ragam kicauan burung, semakin indah terdengar ditelinga. Semerdu-merdu suara Beo toh dia hanya menirukan suara-suara.
    Suatu saat burung-burung yang suaranya mulai parau, akan istirahat atau pergi. Sedangkan yang suaranya indah akan tetap memperdengarkan suaranya. Merdeka…..Tidaklah Cukup untuk meraih kebebasan sepenuhnya. Jadi jika anda merasa bebas, gunakan kebebasan dengan sebaik-baiknya, dan biarlah orang lain bebas berkarya sesuai keinginannya. Karena setiap orang punya keistimewaan demikian juga dengan blog. Setiap blog punya daya tarik sendiri-sendiri. Salam

  7. Robert Manurung Says:

    @ kucingkeren

    Semua pelawak atau komedian yang sukses di dunia adalah orang-orang yang menjalani profesi itu dengan SERIUS. Bayangkan, untuk membuat orang tertawa saja harus serius.

    Apakah benar kehidupan kita di Indonesia sekarang ini sudah serius ? Berapa banyak anak sekolah sampai mahasiswa yang menjani kegiatan belajar dengan serius?

    Berapa banyak pegawai negeri dan swasta di negeri ini yang bekerja dengan serius? Berapa banyak petani kita yang menggarap sawah atau ladangnya dengan serius?

    Berapa banyak pertemuan sosial yang bisa berlangsung fokus dan serius ?

    Bukankah hampir semua kegiatan kita dikerjakan sambil melakukan kegiatan lain?

    Menyetir sambil ngomong di HP, mendengarkan ceramah sambil ngobrol dengan teman, mendengarkan kotbah sambil mengetik SMS, ibu-ibu memasak sambil nonton sinetron, bahkan ada yang bisa ngobrol sambil membaca, dan banyak lagi, buuuanyaaakkk…

    Betul mbak, kita selalu menggabungkan aktivitas bekerja dengan main, sehingga kerjanya nggak maksimal dan bermainnya nggak enjoy betul.

    Inilah alasan saya muncul di blog seperti mamak-mamak yang bawel dan usil, justru supaya orang terusik, karena kita sudah lama terlena dengan kecenderungan kita yang ajaib itu, yaitu menggabungkan kegiatan kerja dengan bermain.

    Akhir kata, aku tidak anti aktivitas bersenang-senang atau senda gurau atau bercanda. Cheer up my friend!

  8. Robert Manurung Says:

    @ daeng limpo

    Cerita tentang burung-burung itu cukup menggelitik, apalagi yang mengenai beo.

    Terima kasih daeng.

  9. togarsilaban Says:

    Saya pernah ikut outbound dengan teman sekantor. Dalam outbound itu ada permainan sederhana namanya “Say buss”, yaitu menghitung 1 dan seterusnya, cuma setiap tiba di angka 5 dan kelipatannya, harus menyebutkan “buss”.
    Minta ampun untuk mencapai angka 25 saja harus diulang sebanyak 5 kali. Itu konyol sekali.
    Saya tanya pelatihnya kenapa begitu, jawabannya karena kita tidak pernah serius mengerjakan sesuatu, selalu ‘celometan’. Pelatih itu membandingkan dengan kru SIA (SQ) yang bisa mencapai hitungan diatas 350. Karena kru SQ itu habitatnya adalah orang serius.

    Jadi garaplah blog ini dengan serius, meskipun isinya hal-hal yang sederhana bahkan joke sekalipun. (Maaf kalau kucingkeren jadi pusing karena bisnis ‘serius’ ini).
    Salam

  10. dobelden Says:

    Mati tertawa hanya ada di Indonesia 😦

  11. Robert Manurung Says:

    @ Lae togarsilaban

    Terima kasih Lae. Cerita pengalaman pribadi Lae mengenai “say buss” itu sangat menarik.

    Aku memang berniat untuk nantinya masuk ke problematik yang biasa-biasa saja di sekitar kita, namun di baliknya tersembunyi bahan-bahan kontemplasi yang berharga.

    Kalaupun di permulaan ini terasa seperti membunyikan “genderang perang”, barangkali karena kita belum terbiasa saja atau risih untuk mengakui bahwa kehidupan di negeri tropis ini memang terlalu santai dan fatalis. Lagu kebangsaan kita sehari-hari adalah Que Sera Sera.

    PEACE

  12. Robert Manurung Says:

    @ dobelden

    Hahaha…

    Komentar yang sangat singkat, padat dan pedas.

    salam kenal kawan. terima kasih sudah berkunjung,

    PEACE

  13. sitijenang Says:

    maksud saya, rakyat kita kan terus dibius. dengan tontonan ala kadarnya, pendidikan yang bersifat dogmatis, dll. semua seolah berusaha membius massa supaya jauh dari nyata. semua serba alam maya… jadinya ya salah kaprah semua. begitu kira-kira, bung.

  14. Ronny Siagian Says:

    Memang jadi serius kalau membaca artikel Bung Robert ini dan sedikit terbawa emosi juga ya.
    Saya memang serius kalau sudah bicara kematian.
    Tapi saya bingung kalau ada Mati Bercanda ala Indonesia.
    Memang kematian massal sering kita dengar di Indonesia.
    Tapi karena bencana alam yang paling sering saya kira.
    Saya selalu ingat pesan teman saya kalau menghadapi masalah
    SO WHAT ? bukan pasrah, tapi what’s the real action ?
    Interesting dan Menantang.
    Salam kenal Bang atau Bung Robert Manurung.

  15. Robert Manurung Says:

    @ sitijenang

    Memang demikianlah adanya. Pembiusan seperti yang Mas jelaskan itulah yang membuat negeri kita semakin “ajaib”. Jangankan rakyat biasa, kalangan intelektual pun banyak yang malas menggunakan akal sehatnya.
    Sampai-sampai ada seorang menteri mencari “harta karun” di situs purbakala, yang diyakininya bakalan cukup membayar semua hutang kita ke luar negeri. Alamaaaaak…

    Salam

  16. Robert Manurung Says:

    @ Lae Ronny Siagian

    Salam kenal juga Lae.

    Aku tertarik pada penjelasan Lae mengenai kematian massal akibat bencana alam. Nah, jika memang murni bencana alam, tentu sangat keterlaluan kalau sampai kusebut mati bercanda.

    Izinkan aku mengajukan pertanyaan : apakah bencana banjir dan longsor yang terjadi di berbagai daerah, termasuk yang melanda daerah amat luas dari Solo sampai Lamongan baru-baru ini, tergolong kategori bencana alam murni ataukah akibat ulah manusia ?

    Kalau akibat ulah manusia, tentu gampang kita simpulkan bahwa semua bencana itu bukanlah musibah, melainkan konsekuensi logis saja atau harga yang harus kita bayar atas perbuatan kita sendiri. Selanjutnya tinggal pilih kategori yang pas : pembunuhan massalkah itu atau bunuh diri massal?

    Horas
    PEACE

  17. Guntar Says:

    Saya pikir ada porsi untuk setiap urusan yg ada. Setiap kita tidak harus selalu sama, bukan. Pelangi akan tampak indah karena ada banyak warna di sana. Setiap orang punya caranya sendiri utk membangun bangsa. Yg penting setiap dari kita kan unjuk sumbangsih dan karya 🙂

  18. Robert Manurung Says:

    @ Guntar

    Tentu saja tidak ada pemaksaan disini.
    Dan sangat wajar tentunya, dengan aku berkoar-koar mengenai kemerdekaan di blog ini, pasti akan terasa “nyelekit” bagi orang-orang yang konformis atau kompromistis.

    Dan jika memang ada yang terusik lantaran semua yang kusajikan disini, baik artikel, tanggapan terhadap komentar pembaca atau justru komentar para pembaca itu sendiri, berarti misi blog ini sudah mulai berjalan. Bukankah dengan blak-blakan telah kunyatakan dalam tagline yang terpasang di header, bahwa misi blog ini adalah menghasut orang-orang terjajah untuk merdeka?

    Nah, apakah anda sudah merdeka?

    Terima kasih Pak Guntar sudah berkunjung dan meninggalkan komentar. Mudah-mudahan bermanfaat.

    PEACE

  19. emyou Says:

    Jangan2 perilaku mudah lupa bangsa kita terkait dengan terlalu ruwet dan semrawutnya keadaan yang membuat rasa kita lama kelamaan menjadi terbiasa dengan berbagai tragedi yang muncul. Kasarnya, kalopun ada yang korban meninggal karena kecelakaan yang disebabkan kelalaian mereka sendiri macem naek atap KRL, ga pake helm atopun melawan arus dengan semena-mena, bahkan bencana alam yang di luar kehendak kita sekalipun, kita bisa sekedar nyengir sambil bilang “yah.. itung2 mengurangi kepadatan penduduk endonesa”. Apatis, tragis dan ironis…

    Soal blogging sih.. tersera yang punya blog lah. Kalo emang mo ngisi hal2 serius macem sampean ya monggo.. mo “nge-junk” curhat gak karuan juga silakan. So.. keep up good work. Emang harus ada yang “bertugas” kasih bahasan2 serius kok hehehe…

    Salam kenal…

  20. Robert Manurung Says:

    @ emyou

    “yah.. itung2 mengurangi kepadatan penduduk endonesa”.

    MENGERIKAN

    Salam kenal juga emyou. Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan komentar bikin aku mikir.

    Soal blogging, pada akhirnya aku pun akan bilang begitu : suka-suka kalianlah.

    MERDEKA ! ! !

Tinggalkan komentar