RAKYAT
hadiah di hari krida
buat siswa-siswi SMA Negeri
Simpang Empat, Pasaman
Oleh :
Hartoyo Andangjaya
Rakyat ialah kita
jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
di bumi di tanah tercinta
jutaan tangan mengayun bersama
membuka hutan-hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga
mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik di kota
menaikkan layar menebar jala
meraba kelam di tambang logam dan batubara
Rakyat ialah tangan yang bekerja
Rakyat ialah kita
otak yang menapak sepanjang jemari angka-angka
yang selalu berkata dua adalah dua
yang bergerak di simpang siur garis niaga
rakyat ialah otak yang menulis angka-angka
Rakyat ialah kita
beragam suara di langit tanah tercinta
suara bangsi di rumah berjenjang bertangga
suara kecapi di pegunungan jelita
suara bonang mengambang di pendapa
suara kecak di muka pura
suara tifa di hutan kebun pala
Rakyat ialah suara beraneka
Rakyat ialah kita
puisi kaya makna di wajah semesta
di darat
hari yang berkeringat
gunung batu berwarna coklat
di laut
angin yang menyapu kabut
awan menyimpan topan
rakyat ialah puisi di wajah semesta
Rakyat ialah kita
darah di tubuh bangsa
debar sepanjang masa
Sastra,
No. 10-11, Th II, 1962
Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air
biografi ringkas Hartojo Andangjaya
LAHIR di Solo, Jawa Tengah, 4 Juli 1930, dan meninggal di kota kelahirannya itu, 30 Agustus 1991. Karya-karyanya: Simphoni Puisi (1954; bersama D.S. Moeljanto), Manifestasi (1963; bersama Goenawan Mohamad, et. al.), Buku Puisi (1973), Dari Sunyi ke Bunyi (1991; kumpulan esai peraih hadiah Yayasan Buku Utama Depdikbud 1993).
Karya-karya terjemahannya: Tukang Kebun (1976; Rabindranath Tagore), Kubur Terhormat bagi Pelaut (1977; Slauerhoff), Rahasia Hati (1978; Natsume Soseki), Musyawarah Burung (1983; Farid al-Din Attar), Puisi Arab Modern (1984), Kasidah Cinta (tt.; Jalal al-Din Rumi).
===============================================================
Untuk bahan renungan sendiri, 20 Mei 2008, tepat 100 tahun Kebangkitan Nasional
——————————————————————————-
http://www.ayomerdeka.wordpress.com
Tag: hartoyo andangjaya, inspirasi, puisi, rakyat, renungan
20 Mei, 2008 pukul 6:13 pm
bener banget . hidup Indonesia
20 Mei, 2008 pukul 11:01 pm
tahun 60-an, melalui kepekaan intuitifnya, hartoyo andangjaya sudah mampu merasakan betapa rakyat hanya sekadar menjadi objek. Hingga tahun 2008, agaknya rakyat masih saja dieksploitasi. setiap kali kampanye, para petualang politik sok akrab dg rakyat. tapi setelah duduk di kursi kekuasaan, boro2 peduli pada nasib rakyat, menyebut namanya aja lidah mereka jadi kelu. betapa teks sastra telah menjadi saksi sejarah yang otentik dan orisinil mengenai dinamika kehidupan bangsanya. saya jadi membayangkan, bung robert, andai saja para elite negeri ini suka baca teks2 sastra, kepekaan mereka terhadap derita rakyat akan berubah. sayang, politik dan ekonomi telah membuat mereka jadi sosok iliterate yang alergi terhadap karya sastra.
20 Mei, 2008 pukul 11:09 pm
Sajaknya panjang yah …
Kalau boleh saya sumbangkan satu sajak pendek sbb :
Pada Perayaan HUT RI ke 62.
Rakyat Wamena berteriak Koteka !
21 Mei, 2008 pukul 8:00 am
Salam
Rakyat adalah darah dan urat nadi bangsa, Merdeka!!!!
21 Mei, 2008 pukul 8:23 am
bung robert baik,
cape ya menganalisa,
maka mari berpuisi ria.. 😀
salam merdeka!
21 Mei, 2008 pukul 9:50 am
merdeka
21 Mei, 2008 pukul 10:44 am
pas banget nih buat seabad kebangkitan Indonesia..
21 Mei, 2008 pukul 10:31 pm
mari jadikan rakyat bangsa ini menjadi rakyat yang SOLID 🙂
22 Mei, 2008 pukul 7:57 am
itulah kita “sang Rakyat”
22 Mei, 2008 pukul 2:26 pm
keren puisinya.
makasih bro.
23 Mei, 2008 pukul 8:36 pm
KENYATAANYA?
23 Mei, 2008 pukul 9:36 pm
@ realilife
Hidup Indonesia!
@ sawali tuhusetya
Terima kasih atas referensinya Pak Guru. Aku pun sudah lama menggemari puisi-puisinya Hartoyo Andangjaya, sebagaimana aku keranjingan pada lirik-lirik lagu karya Leo Kristi. Cuma bedanya dengan Pak Guru, aku cuma sekadar penggemar, tanpa menciptakan sebait puisi hehehe…
Satu hal yang aku herankan : di masa kebebasan berkesenian dikekang dengan berbagai cara pada masa kekuasaan Soeharto, tapi toh masih lahir karya-karya bermutu seperti puisinya hartoyo ini; namun aku belum menemukan karya dalam bentuk apapun yang menyuarakan dengan pas peristiwa Mei 1998. Kenapa ya ?
@ Ari
Apakah saudara-saudara kita di Wamena merindukan pakaian tradisional mereka itu ?
@ menyok
Salam
Merdeka!
@ Menggugat Mualaf
Di dunia pers ada istilah : apa yang disajikan dan tidak disajikan oleh media tertentu adalah indikasi mengenai kebijakan redaksional media itu.
Di AyomerdekA, dengan menampilkan puisi ini tanpa komentar sama sekali, pemilik blog berkeyakinan bahwa puisinya sendiri sudah bicara. Lagipula adakalanya kita butuh keheningan hehehe….
21 Juni, 2008 pukul 4:21 am
saya bingung harus mengunakan karakter apa untuk competisi porseni