Munir, Cahaya Yang Tak Pernah Padam (3)

munir1

Oleh : Suciwati**

SERANGKAIAN persidangan kasus pembunuhan Munir begitu melelahkan. Tak hanya secara fisik tetapi juga secara mental. Betapa tidak, pada tingkat Mahkamah Agung, Pollycarpus hanya dihukum dua tahun. Polly hanya dinyatakan bersalah melakukan pemalsuan surat, bukan pembunuhan. Semua ini tentu merupakan pukulan sendiri buatku.

Jantungku sakit sekali ketika aku mendengar putusan untuk Polly. Aku merasa kehilangan untuk yang kedua kalinya, kehilangan Munir dan kehilangan keadilan itu sendiri.

Bagaimana mungkin fakta-fakta yang begitu mencolok diabaikan begitu saja oleh hakim-hakim itu? Bagaimana mungkin keadilan hukum bisa kuraih jika dipenuhi oleh manusia tanpa hati nurani?

Dua dari tiga hakim yang membebaskan Pollycarpus dari dakwaan pembunuhan itu memiliki latar belakang sebagai tentara. Keduanya adalah purnawirawan TNI dengan pangkat terakhir mayor jenderal. Tak heran, beberapa pihak menduga, ada semangat korps dalam menangani kasus ini yang menguntungkan Pollycarpus.

Kesedihan sama sekali tidak membuatku surut. Aku yakin pasti masih banyak aparat penegak hukum mempunyai hati nurani. Masih banyak yang peduli pada keadilan dan kebenaran. Ini terbukti dalam putusan pengadilan kasasi pada tanggal 25 Januari 2008 Polycarpus dijatuhi hukuman penjara selama 20 tahun atas dakwaan pembunuhan berencana dan pemalsuan surat tugas.

Selesai? Belum. Misteri pembunuhan Munir masih jauh dari terungkap. Terungkap dari persidangan, juga keputusan pemidanaan Polly, ada mesin intelejen yang bekerja dengan jahat menghabisi nyawa Munir. Ini jauh lebih penting ketimbang sekadar menghukum Polly. Dia hanya pelaku lapangan, bukan orang yang secara sistematis menggunakan kekuasaan dan kewenangan dalam melakukan pembunuhan ini.

Tragisnya, sampai hari ini proses meraih kebenaran dan keadilan siapa di balik pembunuhan Munir masih terseok-seok. Tabir misteri belum tersingkap.

Benar, ada perkembangan baru dengan ditangkapnya Muchdi Purwopranjono 19 Juni 2008. Jenderal bintang dua ini diduga kuat berada di balik pembunuhan Cak Munir. Saat ini proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sedang berlangsung untuk membuktikan dugaan tersebut.

Yah, aku berharap persidangan ini berlangsung adil. Kejahatan para pelaku pelanggar HAM selayaknya dibawa ke pengadilan. Namun, kecemasan selalu hadir. Adakah keadilan akan berpihak kepadaku?

Aku berharap masih ada jaksa dan hakim handal yang mengedepankan hati nurani ada di pengadilan ini. Tentu saja aku juga berharap pelaku sesungguhnya juga segera ditangkap, siapa pun dia.


***

PERJALANAN meraih keadilan begitu berliku. Satu hal yang paling aku syukuri adalah begitu banyak sahabat yang mendukung perjuangan pencarian keadilan ini. Teman-teman di KASUM dan tak sedikit sahabat yang secara pribadi memberiku kekuatan untuk terus berjuang.

Tak jarang teror hadir. Ada ancaman datang dari mereka yang ingin memadamkan pencarian keadilan ini. Bahkan statusku sebagai ibu juga menjadi bagian empuk untuk diserang oleh mereka. Syukurlah, di saat-saat begini, sahabat-sahabatku setia mendampingi dan menguatkanku.

Desakan penuntasan kasus Munir dari dalam negeri cukup kuat. Pada 7 Desember 2006, Tim Munir DPR RI mengeluarkan rekomendasi agar Presiden membentuk Tim Pencari Fakta yang baru. Berbagai kelompok masyarakat sipil pun terus mempertanyakan kasus Munir. Mereka datang dari berbagai kalangan, antara lain LSM, akademisi, petani, buruh, seniman,wartawan dan berbagai profesi lainnya.

Tak hanya dari dalam negeri, dukungan juga datang dari segala penjuru dunia. Pada 9 November 2005, misalnya, 68 anggota Kongres Amerika Serikat mengirimkan surat kepada Presiden Yudhoyono agar segera mempublikasikan laporan TPF. Anggota Kongres AS tersebut mempertanyakan keseriusan pemerintah Indonesia dalam menuntaskan kasus Munir.

Pada September 2006, saat KTT ke-6 ASEM (The Asia-Europe Meeting) di Helsinki, Finlandia, kasus Munir menjadi salah satu sorotan peserta. Presiden Komisi Eropa Jose Manuel Barroso, peserta penting dalam konferensi tersebut, mempertanyakan kelanjutan pengusutan kasus Munir langsung kepada Presiden Yudhoyono.

Philip Alston, UN Special Rapporteur on Extrajudicial, Summary or Arbitrary Executions, juga telah menyatakan kesediaannya untuk ikut membantu pemerintah Indonesia dalam mengusut kasus Munir. Pelapor khusus, yakni Hina Jilani (Human Rights Defender) dan Leandro Despouy (Kemandirian Hakim dan Pengacara), juga telah menyatakan keprihatinan akan kasus Munir di hadapan Dewan Hak Asasi Manusia Persatuan Bangsa-Bangsa.

Pada 26 Februari 2008, Deklarasi Parlemen Uni Eropa meminta pemerintah Indonesia serius dalam menuntaskan kasus Munir. Bahkan, 412 anggota parlemen yang menandatangani deklarasi ini meminta Uni Eropa memonitor kasus ini sampai tuntas.

Mengalirnya dukungan tersebut mestinya membuat pemerintah tidak usah ragu. Siapa pun di balik kekejian ini harus diungkap, tak peduli jika penjahatnya itu adalah orang kuat. Dukungan bagi pemerintah telah mengalir, secara hukum dan politik. Tinggal perintah dari sang presiden untuk memastikan kepolisian tetap bekerja mengusut kasus ini sampai terungkapnya sang aktor utama. Presiden juga hanya perlu memerintahkan Jaksa Agung untuk bekerja profesional. Hanya itu….

Presiden Yudhoyono pernah menyatakan bahwa pengusutan kasus pembunuhan Munir adalah ujian bagi sejarah bangsa. “Test of our history,” kata Pak Presiden. Jadi, aku,rakyat Indonesia dan komunitas internasional menunggu bukti perkataan itu. Aku menunggu pengusutan misteri ini sampai pada aktor utamanya, bukan hanya aktor pinggiran saja. Negara harus bertanggung jawab atas semua pelanggaran HAM yang telah terjadi.


***

BAGIKU, Munir adalah cahaya yang tidak pernah padam. Kesan ini semakin mendalam terasa setelah kepergiannya. Munir beserta semangatnya telah memecahkan ketakutan yang mencekam, menciptakan budaya demokrasi, memberi harapan penegakan HAM. Semua yang Munir lakukan menjadi inspirasi bagiku dan teman-teman penggerak demokrasi di negeri ini. Niscaya, semangat itu diteruskan oleh para pencinta keadilan dan kebenaran dengan tanpa henti.

Ya Allah, aku bukan Sayidina Ali yang Kau beri kemuliaan. Aku hanya manusia biasa dan aku memohon kepadaMu sebab aku meyakiniMu. Berilah kemudahan bagi kami untuk mengungkap pembunuhan ini. Beri kami kekuatan untuk menjadikan kebenaran sebagai kebenaran sesuai perintahMu. Menjadikan keadilan sebagai tujuanku seperti tujuan menurutMu.

Ya Allah, aku tidak menjadi manusia yang lebih dari yang lain dengan berbagai ujian yang Kau berikan, seperti Kau muliakan Nabi Muhammad dengan berbagai ujianMu. Aku hanya minta menjadi manusia biasa dan dapat mengungkap kasus ini. Amin.

Bekasi, September 2008. (Tamat)

**Suciwati adalah istri almarhum Munir/ artikel ini dikutip dari Facebook dengan seijin mbak Suciwati

Tag: , , , , , , , , ,

2 Tanggapan to “Munir, Cahaya Yang Tak Pernah Padam (3)”

  1. Nyante Aza Lae Says:

    Munir bagaikan lilin, ia rela mati demi menerangi…Semoga kebenaran dan keadilan bisa ditegakkan..

  2. arif sipayung Says:

    SELAMAT JALAN BANG MUNIR!

    KAU BERJALAN DI DALAM PERJUANGAN DAN PENGORBANAN.
    TERIMA KASIH UNTUK SEMANGAT DAN CITA CITA YANG KAU TINGGALKAN.

    KASUS KEMATIAN MUNIR HARUS TERUNGKAP!

    SALAM.
    ARIF

Tinggalkan komentar