“Sajak Sebatang Lisong” dan 100 Tahun Kebangkitan Nasional

SAJAK SEBATANG LISONG**

Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka

Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.

Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.

Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.

* * *

Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun.

Dan di langit;
para tekhnokrat berkata :

bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun;
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor

Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.

Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.

Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.

* * *

Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.

Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.

WS RENDRA

19 Agustus 1977
ITB Bandung
Potret Pembangunan dalam Puisi

**Dipersembahkan kepada mahasiswa Institut Teknologi Bandung, dan dibacakan pada salah satu adegan film “Yang Muda Yang Bercinta” karya sutradara Sumandjaya.

_________________________

Oleh : Robert Manurung

SAJAK di atas telah berusia 31 tahun, tapi toh masih saja aktual. Artinya, nyaris tidak ada kemajuan bangsa dan negara kita, selama kurun waktu tersebut. Justru sebaliknya, terjadi kemunduran yang luar biasa di berbagai bidang.

Apakah pernyataan ini terlalu pesimistis ? Silakan simpulkan sendiri, nanti. Sebelumnya mari kita bandingkan lebih dulu, Indonesia tahun 1977– yang digambarkan dengan sangat gamblang dalam sajak itu– dengan Indonesia tahun 2008.

Kalau dilihat secara tekstual, perubahan paling mencolok adalah jumlah penduduk. Tahun 1977 populasi Indonesia “baru” 130 juta jiwa, sekarang sudah menjadi 200 juta jiwa lebih. Dan angka delapan juta anak tanpa sekolah yang disebutkan Rendra, sekarang kategorinya telah berubah menjadi anak putus sekolah, dan menurut data Komisi Perlindungan Anak jumlahnya tak kurang dari 12 juta jiwa.

Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka

Kata “cukong” di sini bisa dengan bebas kita artikan pemodal, kapitalis atau pendeknya segelintir orang yang mengusai ekonomi kita. Ketika sajak ini dibuat, kata cukong dengan jelas merujuk pada kalangan pengusaha Cina yang oleh Soeharto diberikan privilese untuk berbisnis, namun sebaliknya dipreteli hak-hak politiknya. Sedangkan pribumi yang mendapat kesempatan berbisnis adalah kelompok Soeharto sendiri, terutama kalangan militer dan birokrat yang paling setia padanya.

Sekarang, apakah ada yang berubah mengenai hal itu ?

Ekonomi kita tetap dikuasai oleh segelintir orang, dari kelompok yang itu-itu juga, ditambah masuknya benalu-benalu baru yaitu perusahaan-perusahaan asing yang membeli dengan murah sejumlah BUMN yang sehat dan mencetak laba. Selain itu, usaha-usaha yang menyangkut hidup orang banyak juga dilego ke pihak asing, atas nama privatisasi, yang pada hakekatnya adalah pelanggaran terhadap UUD 45. Beberapa di antaranya adalah Telkom, PAM, Semen Gresik, dan sebentar lagi Krakatau Steel bakal menyusul.

Sementara itu kehidupan rakyat justru kian menderita. Bukan lagi sekadar bergelut dengan kemiskinan; yang tak mampu dikaiskan meski bangsa ini telah tiga kali berganti generasi sejak merdeka; namun rakyat miskin terpaksa pula hidup dengan kualitas lingkungan yang memburuk. Dan bencana demi bencana semakin sering terjadi, di mana korbannya selalu kaum miskin; salah satunya adalah bencana lumpur panas Lapindo, Sidoarjo.

Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun.

* * *

LAHIRNYA sajak ini merupakan kemunduran besar bagi perjalanan kepenyairan Rendra. Pasalnya, secara sekilas saja sudah tampak sajak ini lebih menyerupai petisi atau pamflet daripada karya seni. Artinya, dalam membuat sajak ini Rendra tak mau capek-capek lagi menggubah jalinan kata, idiom atau metafor untuk menyampaikan protesnya dalam balutan estetika dan perlambang. Tapi justru sebaliknya, dia langsung melancarkan protes, berteriak keras, dan bahkan memaki dengan kasar.

Tak pelak lagi sajak protes ini adalah cetusan rasa frustrasi WS Rendra sebagai seniman. Sebelumnya dia telah mapan sebagai penyair papan atas dengan ciri khas gaya prosa liris. Blues Untuk Bonnie dan Sajak-sajak Sepatu Tua adalah dua buku kumpulan pusinya yang mengisahkan tentang cinta dengan sangat halus dan manis, dan melukiskan pergulatan manusia dengan humanisme yang lembut. Corak itulah yang membuat penyair flamboyan ini dijuluki “Burung Merak”.

Tapi, dia tiba-tiba menyadari, semuanya itu sia-sia saja selama dia tidak menyuarakan jeritan batin rakyat yang menderita :

Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.

* * *

DI masa itu, Soeharto mulai melakukan cara-cara represif demi memusatkan kekuasaan di tangannya. Dan, masyarakat hanya berani bisik-bisik mengenai sepak terjang Ibu Tien sebagai makelar proyek-proyek pemerintah, karena kebebasan media sudah dieliminasi secara sistematis. Rendra pun kemudian mendapat pencekalan di mana-mana, sehingga tidak mendapat kesempatan untuk membacakan sajak protes ini.

Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.

Di masa itu pula “mafia Berkley” mulai merusak sistem ekonomi kita dengan trickle down theory-nya ekonom Amerika, A. Rostow. Teori menetes ke bawah. Kalau tuan-tuan di atas sudah kenyang, tentu akan ada remah-remah yang jatuh ke bawah meja. Itulah jatahnya rakyat.

Dan di langit;
para tekhnokrat berkata :

bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun;
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor

Kini, Soeharto sudah menjadi sejarah masa lalu; dan angin kebebasan telah bertiup ke seantero negeri ini; tapi mengapa mereka-mereka yang dahulu menghujat perilaku rezim Soeharto yang KKN malah menirunya dengan cara yang amat vulgar dan tega menghianati aspirasi rakyat ? Entah berapa gubernur, bupati, anggota DPR dan DPRD masuk penjara karena korupsi; sebanyak itulah rakyat geleng-geleng kepala dan mengelus dada.

Hari ini, tepat 100 Tahun Kebangkitan Nasional, sajak lawas WS Rendra ini ternyata masih tetap aktual. Tapi karena fokusnya lebih ke masalah pendidikan dan kebusukan birokrasi yang melingkupinya; agaknya perlu kita tambahkan dua poin lagi–demi menyelamatkan bangsa dan negara kita dari kehancuran; yaitu penguatan kembali komitmen berbangsa dan rekonsiliasi nasional.

Alangkah baiknya kalau semua komponen bangsa bersedia mengampuni dosa-dosa politik rezim Soeharto, agar tidak jadi penghalang bagi bangsa ini melangkah ke depan. Bisa saja caranya dengan menerbitkan sebuat “buku putih” atau sejarah yang jujur; agar kebenaran terungkap, namun setelah itu segenap warga bangsa ini dengan legowo memaafkan diktator yang telah wafat itu.

Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.

Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.

Merdeka !

===============================================================

http://www.ayomerdeka.wordpress.com

Tag: , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

11 Tanggapan to ““Sajak Sebatang Lisong” dan 100 Tahun Kebangkitan Nasional”

  1. ariss_ Says:

    [tersenyum kecut!]

    *pulang*

  2. Robert Manurung Says:

    @ ariss

    sorry pren,

    Tiba-tiba muncul ide menulis, sambil merasa sayang untuk tidak segera menampilkan sajak yang dahsyat ini.

    Menurut aku yang utama adalah sajaknya, sedangkan narasiku cuma semacam bumbu untuk bikin lebih pedas hehehe….

    Salam Merdeka

  3. Sawali Tuhusetya Says:

    Rendra pernah membacakan sajak itu sekitar tahun ’85-an di semarang ketika kharisma si burung merak itu menguasai atmosfer perpuisian indonesia mutakhir hingga akhirnya rezim orba bertindak represif dg melarang rendra membacakan sajak2 protesnya itu. ternyata bener apa kata bung robert, sajak itu masih saja relevan ketika kita sudah memasuki seabad kebangkitan nasional dan satu dekade reformasi. persoalan estetika yang acapkali dilontarkan oleh para kritikus yang dinilai mulai ditinggalkan rendra, saya kira sah2 saja. tapi menurut saya, rendra telah menyuarakan kegelisahan batinnya terhadap kondisi bangsa dan negerinya yang makin abai terhadap persoalan pendidikan sehingga bangsa ini tidak menjadi bangsa yang cerdas.
    Ok, dirgahayu bangsaku, salam merdeka!

  4. galih Says:

    jujur, aku pusing nih bacanya, kebanyakan istilah.
    kalau buatku sih, kebangkitan nasional itu kumulai dari diriku dulu :p

  5. zizaw Says:

    puisi rendra yang bagus… tumben aku suka, hehe… betul. masih relevan dengan sekarang… banyak rakyat miskin dan beberapa orang kaya

  6. nad Says:

    pertama baca sajak ini saya masih sekolah pakai celana pendek!
    memang dahsyat daya gugah bung willy! tapi begitu juga daya gugah bung robert dalam mengkontemporerkan kembali ‘pamflet’. salam.

  7. Robert Manurung Says:

    @ sawali tuhusetya

    Dengan menyebutkan bahwa sajak ini adalah kemunduran bagi Rendra sebagai penyair, aku justru memuji keberaniannya melakukan itu, supaya bisa lebih lugas menyuarakan keadaan yang sebenarnya. Dalam hal inilah aku merasa kecewa selama puluhan tahun pada Gunawan Mohammad. karena baik puisi maupun catatan pinggirnya terlalu asyik berfilsafat dan memamerkan betapa banyaknya buku telah dibacanya.

    terima kasih atas respon dan apresiasinya. Bukan apa-apa, kalau seniman yang memberikan komentar, aku selaku seniman pasif kontan merasa mendapat penguatan hehehe….

    @ galih

    Sorry pren kalau postingan ini membuatmu pusing. Aku hargai tanggapan ini sebagai masukan, supaya lain kali lebih komunikatif, agar bisa dinikmati oleh lebih banyak pembaca dengan beragam latar belakang.

    @ zizaw

    trims

    @ nad

    Terima kasih. apresiasinya telah menyalurkan energi positif yang membuatku bergairah untuk menulis lagi, dan lagi.

  8. azzam Says:

    wahhh mantabh sajak nya ! saya suka

  9. ANNISA Says:

    THAT’S GREAT…

  10. Sahabat negara Says:

    Terlepas dari bagaimana cara membungkusnya tapi Jiwa yang terkandung dalam setiap baris bait sajak ini merupakan suara berjuta rakyat indonesia…. Mau dibilang puisi, pamplet masa darurat terserahlah. Rakyat butuh orang untuk bersuara… bersuara dengan suara yang lantang… terserah mau kasar atau lembut… karena kenyataannya kelakuan cukong dan birokrat kita ternyata jauh lebih kasar dari kata-kata kita…..
    Arwah para pejuang kita dulu menangis dan menjerit melihat darah yang mereka tumpahkan ternyata disia-siakan oleh kita…
    Ibu pertiwi kini tlah tertunduk….dalam dan lama…. tidak ada kata lain..
    BANGKIT DAN LAWAN!!!

    DIO E MORTO

  11. bewox asmaranggawa Says:

    saya sangat terkesan atas karyanya ws rendra
    semoga akan muncul ws rendra ws rendra yg baru…….

Tinggalkan komentar