4 Anaknya Lulusan Jerman, 4 Lagi Alumni UI
TERPAKSA menikah di usia remaja lantaran desakan orang tua, ternyata tidak menjadi kendala baginya untuk membina rumah tangga yang harmonis. Dan meski tak bisa lagi melanjutkan pendidikan setelah menikah, semangat belajarnya tidak lantas mati. Dengan belajar secara otodidak, dia fasih dua bahasa asing, Belanda dan Inggris. Lalu ketika terpaksa hidup nomaden mengikuti suaminya yang berprofesi guru, dia segera beradaptasi, dan mendorong seisi rumahnya menjadi keluarga yang multi-kultur.
Siapakah perempuan yang luar biasa lentur itu, yang mengalir seperti air mengikuti liku-liku nasibnya ? Bakat, hasil pendidikan dan kepribadian seperti apa yang dimilikinya, sehingga mampu menyesuaikan diri dengan zaman yang terus berubah; dari era kolonial Belanda, Jepang, Demokrasi Terpimpinnya Bung Karno, Stablitas Otoriternya Soeharto sampai Reformasi yang sarat anomali ?
Dan hebatnya, gejolak-gejolak perubahan zaman yang revolusioner itu tak mampu mengikis prinsip-prinsip luhur yang dianut perempuan yang liat dan tangguh ini. Dia senantiasa down on earth. Selalu membumi dan tidak neko-neko. Dan senantiasa merasa bangga dan bersyukur terlahir sebagai orang Batak.
Dengan sikap seperti itulah ibundanya Marsillam Simanjuntak ini mendukung kemajuan karir suaminya dan mengasuh serta membimbing kedelapan anaknya, 6 laki-laki dan 2 perempuan. Suaminya, Dr.I.P Simandjuntak kemudian menjadi tokoh nasional pemberantasan buta huruf. Sedangkan kedelapan anaknya semuanya menjadi sarjana, empat di antaranya menyelesaikan studi di Jerman, 4 lagi lulusan Universitas Indonesia. Semuanya berhasil mengukir prestasi cemerlang di bidang karir dan profesi masing-masing.
Anaknya yang pertama, Edward Christian Simandjuntak (75), cukup lama menduduki jabatan puncak di PT Tjipta Niaga. Putrinya, Aurora boru Simandjuntak (73), bertahun-tahun sebagai sekretaris Ketua MPR, dari Daryatmo, Amir Machmud sampai Kharis Suhud. Aurora juga pernah menjabat Sekjen Asosiasi Perpustakaan Parlemen Asia-Pasifik.
Anaknya yang paling bontot, Parulian Simandjuntak (63) sudah bertahun-tahun menjadi orang nomor satu di perusahaan farmasi Jerman, PT Schering. Dan di antara mereka semua, yang paling populer dan termasuk tokoh yang disegani di negeri ini adalah Marsillam Simandjuntak (64). Pemikir sosial-politik yang semprat praktek dokter selama 14 tahun ini, dikenal sebagai sosok idealis yang sangat anti-korupsi. Dia menjabat Menteri Sekretaris Kabinet dan Menteri Kejaksaan di dalam kabinet Presiden Abdurachman Wahid.
Ibu segala zaman
Nah, siapakah perempuan hebat itu, yang telah melahirkan, mengasuh dan mendidik manusia-manusia cerdas, punya integritas tinggi dan sukses di bidangnya– sekaliber Marsillam Simanjuntak ? Kok bisa, ibu yang pendidikannya cuma setara kelas lima SD itu membentuk anak-anaknya menjadi manusia-manusia yang berpikir terbuka, berwawasan global, tapi tetap nasionalis dan tetap bangga sebagai orang Batak ?
Ny.Tiara Simandjuntak boru Siahaan, namanya, sudah berusia 91 tahun; tapi masih sehat, bugar dan aktif. Dia menjalani hari tua yang bahagia di rumah peninggalan zaman Belanda–yang terawat baik dan asri, di Jl Dempo kawasan Matraman, Jakarta Timur. Dia tetap mempertahankan cara hidup yang teratur dan berhemat, serta sepenuhnya independen dalam urusan keuangan, tanpa pernah meminta kepada anak-anaknya.
Perempuan Batak yang fasih bahasa Jawa ini menikmati betul masa “pensiun” sebagai isteri dan ibu, setelah suaminya berpulang dan 8 anaknya sudah mentas. Kini dia banyak mengisi hari-harinya dengan membaca di perpustakaan pribadinya.
Salah satu kesenangannya adalah membaca majalah berbahasa Inggris, Reader’s Digest, sumber pengetahuan umumnya sejak masih muda. Dia berlangganan langsung ke Amerika, karena edisi Asia majalah tersebut tidak menyediakan versi khusus dengan ukuran huruf lebih besar.
Dipaksa menikah
Tiara lahir di Pematangsiantar 20 Maret 1916. Ayahnya hanya pegawai kecil di perusahaan perkebunan setempat, namun cukup cerdik membaca arah perubahan zaman. Ketika di kota itu berdiri sekolah-sekolah Belanda partikelir, pegawai kecil itu dengan nekad menyekolahkan Tiara di HIS, kendati uang sekolahnya sangat mahal. Harapannya, dengan memiliki bekal pendidikan, putrinya bakal dapat dijodohkan dengan pemuda yang memiliki pekerjaan bagus.
Demikianlah yang terjadi selang berapa tahun kemudian, ketika Tiara duduk di kelas dua sekolah lanjutan—setara dengan kelas lima SD sekarang. Setahun lagi Tiara akan menyelesaikan program pendidikan lanjutan tiga tahun itu, dan dia mulai merajut angan meneruskan pendidikan ke Jawa. Saat itulah Tiara diajak bicara oleh orang tuanya, yang ternyata membelokkan arah perjalanan hidupnya.
“Kawinlah kamu,”kata ayahnya.
“Nggak Pak. Saya ingin sekolah di Salatiga,”jawab Tiara, lemas.
“Ah, buat apa perempuan sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya ke dapur juga,”jawab ayahnya.
Desakan agar Tiara segera menikah kemudian menjadi arus deras yang tak bisa dilawan. Semua kerabat dekat, bapak tua, bapak uda, inang uda, ramai-ramai membujuk dan mendesak gadis belia yang masih bau kencur itu. Apa boleh buat, daripada durhaka, Tiara pun menyerah.
Tidak menyesal dijodohkan
Di usia 15 tahun—yang sudah dianggap siap nikah pada masa itu, Tiara dilamar oleh seorang guru muda, Iskandar Poltak Simanjuntak. Pemberkatan nikah diadakan di Gereja HKBP Jalan Gereja, Pematang Siantar, pada tahun 1931. Pupus sudah impiannya untuk merantau ke Salatiga, guna menempuh pendidikan sekolah guru perempuan.
“Zaman dulu tidak ada yang bisa memprotes orang tua. Harus turut orang tua. Tapi, menurut saya bagus itu. Bagus sekali efeknya walaupun waktu itu kita kesakitan.”ujar Tiara, 77 tahun kemudian.
“Sebelumnya pernah saya dengar dari seorang kerabat yang menyarankan kepada bapak saya supaya kami anak-anaknya yang perempuan dimasukkan di sekolah Belanda. Tujuannya, supaya kami laku. Jadi, saya bisa mengerti mengapa saya disekolahkan di HIS, meski uang sekolah sangat tinggi waktu itu.Pendek cerita, datanglah pangoli (pria melamar) ini. Kami menikah dan saya dibawa ke Sipirok, sebab suami saya yang lulus dari HKS di Jawa ditugaskan di Sipirok,”kenang Ny.Tiara Simandjuntak boru Siahaan. (Bersambung)